Mengapa Karyawan Tidak Bahagia di Tempat Kerja?

Kamis, 19 Desember 2024 11:03 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ruang Publik Bicara, Menulis Karyawan Pemerintah, BUMN dan Swasta Akibat Toxic Boss
Iklan

Kebahagiaan di tempat kerja memang bukan hanya soal gaji, tapi juga tentang hubungan sosial yang sehat, rasa percaya, dan kebermaknaan dalam pekerjaan

***

Karyawan yang bahagia di tempat kerja adalah ia yang merasa puas secara emosional, mental, dan fisik pada lingkungan kerja mereka. Kebahagiaan ini muncul ketika kebutuhan dasar, seperti gaji yang layak dan rasa aman terpenuhi. Selain itu karena adanya dukungan sosial, pengakuan, dan kesempatan untuk berkembang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Teori self-determination menyatakan bahwa kebahagiaan di tempat kerja ditentukan juga oleh otonomi, kompetensi, dan hubungan positif sesama pekerja. Karyawan yang bahagia akan termotivasi, produktif, dan memiliki hubungan yang baik di lingkungan kerja. Dengan demikian, ia berkontribusi secara maksimal pada kebahagiaan individu dan keberhasilan organisasi, instansi, atau perusahaan.

Mengapa karyawan tidak bahagia di tempat kerja? Hal ini terjadi karena salah satu penyebannya adalah mereka  berada di lingkungan dengan ketimpangan antara gaji yang diterima dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu kelelahan psikis yang merusak kebahagiaan emosional karyawan.

Ketika kebutuhan dasar hidup, seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan keluarga tidak tercukupi, karyawan akan merasa terjebak dalam kondisi yang problematis. Dalam teori hierarki kebutuhan, Abraham Maslow menyatakan bahwa kebutuhan fisiologis dan rasa aman menjadi dasar piramida. Jika kebutuhan dasar ini tidak tercukupi, individu akan sulit mencapai kebahagiaan dan aktualisasi diri.

Dalam lingkungan instansi atau perusahaan yang menggaji di bawah standar kebutuhan hidup, karyawan cenderung mengalami tekanan emosional yang berat. Studi dari Journal of Occupational Health Psychology (2022) menyatakan bahwa karyawan yang gajinya tidak memadai lebih rentan mengalami stres kronis dan depresi. Kondisi ini diperparah oleh rasa tidak dihargai yang muncul karena ketimpangan upah.

Kekurangan secara finansial memengaruhi dinamika sosial karyawan di tempat kerja. Dalam situasi ini, mereka cenderung mempunyai sensitivitas emosional yang lebih tinggi. Ia lebih mudah tersinggung dan rentan mencurigai rekan kerja, terutama jika ada peluang yang hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Dalam psikologi, hal ini dikenal dalam social comparison theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger. Ketika seseorang merasa dirinya diperlakukan tidak adil, rasa iri dan frustrasi cenderung muncul dan mengakibatkan lemahnya komunikasi di tempat kerja.  

Situasi ini bisa digambarkan seperti analogi ayam dalam kandang. Ketika pemberian makanan terbatas, ayam yang merasa lebih kuat akan mendominasi, mematuk dan mengusir yang lemah sehingga  menciptakan hierarki sosial yang tidak sehat dalam kandang itu. Hal ini paralel dengan tempat kerja yang kurang sehat secara finansial. Mereka akan berlomba-lomba untuk mengamankan sumber daya tambahan seperti bonus, proyek tambahan, atau promosi kecil. Terdapat persaingan tidak sehat demi mengambil alih proyek tambahan untuk pendapatan lebih, meskipun harus mengorbankan teman kerja.

Ketegangan emosional memengaruhi kinerja individu dan produktivitas tim. Penelitian dari Harvard Business Review (2021) menyatakan bahwa lingkungan kerja yang dipenuhi konflik interpersonal, produktivitas menurun hingga 30%. Kelelahan emosional dan kesulitan dalam menjalin relasi kerja yang sehat mengakibatkan tim sulit mencapai tujuan bersama. Dalam situasi ini inovasi terhambat. Sebab,  ide-ide baru jarang muncul di lingkungan yang dipenuhi ketegangan atau jika muncul ide baru akan mendapat reaksi negatif.

Lingkungan kerja seperti ini mengingatkan kita pada konsep alienasi dari Karl Marx. Karyawan yang bekerja dalam kondisi tidak manusiawi akan merasa terasing dari pekerjaan, rekan kerja, dan bahkan dari dirinya sendiri. Ketika pekerjaan hanya dianggap sekadar sarana untuk bertahan hidup, tidak memberikan nilai lebih, hubungan individu dengan pekerjaan menjadi rusak.

Memang, tidak semua tempat kerja berada dalam kondisi seperti ini. Banyak perusahaan atau instansi telah memahami pentingnya kebahagiaan karyawan sebagai bagian dari strategi keberhasilan. Misalnya, perusahaan teknologi seperti Google, yang menawarkan fasilitas makanan gratis, ruang santai, program kebahagiaan mental, dan lain-lain.

Pendekatan ini sesuai teori self-determination yang mengutamakan perlunya otonomi, kompetensi, dan hubungan sosial yang baik di lingkungan kerja untuk meningkatkan motivasi dan kebahagiaan tiap individu di dalamnya. Hal ini juga selaras dengan laporan McKinsey (2023), bahwa karyawan yang merasa diperhatikan oleh perusahaan atau instansi, cenderung mempuyai loyalitas yang lebih tinggi.

Bagi karyawan yang berada dalam lingkungan kerja yang tidak ideal, ada langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif. Pengembangan emotional intelligence (kecerdasan emosional) bisa membantu mengatasi stres dan menjaga relasi yang sehat terhadap rekan kerja. Kecerdasan emosional yang baik membuat karyawan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri, memahami perspektif orang lain, dan mencari solusi tanpa konflik.

Untuk pihak perusahaan, penting menerapkan budaya yang menghargai karyawan sebagai manusia, dan bukan sekadar  sebagi alat produksi. Filosof Immanuel Kant menyampaikan bahwa manusia hendaknya diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata. Jadi, perusahaan perlu memastikan bahwa kebahagiaan karyawan adalah prioritas. Kepastian ini bisa melalui kebijakan upah yang adil dan dukungan kebahagiaan mental. Bisa juga menerapkan sistem kerja fleksibel demi menjaga ketahanan motivasi  kerja karyawan.

Lingkungan kerja yang sehat tentu menguntungkan karyawan dan perusahaan itu sendiri. Karyawan yang bahagia akan lebih produktif, kreatif, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Gallup Workplace Report (2023) menyampaikan bahwa perusahaan dengan tingkat kebahagiaan karyawan baik, menghasilkan 21% lebih tinggi keuntungannya dibandingkan perusahaan dengan karyawan yang kurang bahagia. Oleh karena itu, kebahagiaan karyawan merupakan investasi berkelanjutan, bukan sekadar sebagai pengeluaran.

Demikianlah. Kebahagiaan karyawan di lingkungan kerja merupakan tanggung jawab bersama. Baik pihak perusahaan maupun pihak karyawan hendaknya berkolaborasi menjadikan lingkungan kerja yang sehat, seimbang, saling menghargai dan mendukung. Jika kebahagiaan emosional diprioritaskan, pekerjaan bukan lagi menjadi beban. Namun, akan menjadi bagian dari perjalanan hidup yang bermakna. Dalam lingkungan kerja yang bahagia, akan tercipta kinerja yang optimal dan kehidupan yang berkualitas untuk seluruh pihak yang terlibat.

Kebahagiaan di tempat kerja memang bukan hanya karena tentang nominal dalam slip gaji, melainkan juga tentang hubungan sosial yang sehat, rasa percaya, dan kebermaknaan dalam pekerjaan. Perusahaan yang berani berinvestasi pada kebahagiaan karyawan melalui lingkungan kerja yang suportif, pemberdayaan individu, dan pemberian penghargaan yang adil, akan mendapatkan karyawan yang lebih produktif dan loyal.

Begitu juga, karyawan yang menanamkan nilai kerja positif dan menjaga hubungan baik dengan rekan kerja menjadi langkah baik dalam menciptakan kebahagiaan. Melalui kolaborasi semua pihak, lingkungan kerja yang membahagiakan dapat tercipta. Kondisi ini tentu akan membawa manfaat jangka panjang bagi individu dan organisasi, perusahaan, atau instansi.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mugi Muryadi

Penggiat literasi dan penikmat kopi susu

55 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler